
Epilepsi adalah kelainan neurologis kronik yg terdapat di seluruh dunia. Epilepsi dapat terjadi pada pria maupun wanita & pada semua umur. Insiden epilepsi di dunia berkisar antara 33-198 tiap 100.000 penduduk tiap tahunnya. (WHO, 2006) Insiden ini tinggi pada negara-negara berkembang karena faktor resiko untuk terkena kondisi maupun penyakit yg akan mengarahkan pada cedera otak adalah lebih tinggi dibanding negara industri. (WHO, 2001; WHO, 2006)
Distribusi penyakit epilepsi berbeda pada usia-usia tertentu. Hal ini terbukti dari berbagai penelitian. Penelitian EF Sperber dkk menunjukan adanya perubahan maturitas fungsi substansia nigra tikus dalam penghambatan kejang yg muncul pada usia tertentu. (Sperber, 1999) Selain itu terdapat penelitian Fogarasi A dkk pada 155 pasien yg juga menunjukan adanya peran maturitas otak terhadap pembentukan kejang lobus temporal. (Fogarasi 2007)
Kedua penelitian ini menunjukan bahwa ada kerentanan usia tertentu terhadap kejang. Kajian Rizaldi Pinzon terhadap penelitian terdahulu menunjukan insidensi epilepsi pada anak-anak adalah tinggi & memang merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok usia tersebut. Bahkan dari tahun ke tahun ditemukan bahwa prevalensi epilepsi pada anak-anak cenderung meningkat. (Pinzon, 2006)
Secara statistik jenis epilepsi yg terjadi pada masa anak-anak bervariasi namun jenis epilepsi yg secara umum lebih sering terjadi adalah epilepsi umum. (Pinzon, 2006) Pada usia dewasa kejadian epilepsi menurun. Epilepsi pada kelompok usia ini biasanya dikarenakan cedera otak akut (kejang akut simptomatik). Tipe kejang yg sering terjadi pada awal masa usia dewasa adalah kejang umum idiopatik, terutama myoklonik & tonik-klonik. Setelah itu kejang parsial lebih banyak ditemukan.(Brodie, 2001)
Kajian retrospektif Tishio Hiyoshi & Kazuichi Yagi pada 190 pasien kelompok usia orang tua menunjukan bahwa resiko terkena & mengalami kembali epilepsi pada kelompok usia ini tinggi. Resiko tersebut meningkat seiring bertambahnya usia. Dari penelitian mereka didapatkan hasil 76 persen pasien terdiagnosa epilepsi parsial.(Hiyoshi, 2000)
Ditinjau dari jenis kelamin, pria sedikit lebih beresiko terkena epilepsi dibandingkan wanita. (WHO, 2006) Disamping itu tampak pula perbedaan distribusi jenis kelamin pada beberapa jenis epilepsi yg berbeda. Hasil penelitian Jacob Kristensen dkk memperlihatkan bahwa epilepsi fokal simptomatik banyak diderita oleh pria. Sedangkan epilepsi fokal kriptogenik & epilepsi umum terutama idiopatik banyak diderita oleh wanita.( Christensen, 2005)
DEFINISI
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan kronik otak yg menunjukkan gejala-gejala berupa serangan-serangan yg berulang-ulang yg terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yg berlebihan, yg dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yg timbul tiba-tiba & sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel otak (Gofir & Wibowo, 2006, h. 3)
Kata epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanein yg kurang lebih berarti “sesuatu yg menimpa seseorang dari luar hingga ia jatuh”. Kata tersebut mencerminkan bahwa serangan epilepsi bukan akibat suatu penyakit, akan tetapi disebabkan oleh sesuatu di luar badan si penderita yakni kutukan oleh roh jahat atau setan yg menimpa penderita.( Mutiawati, 2008)
Dewasa ini epilepsi didefinisikan sebagai suatu gangguan atau terhentinya fungsi otak secara periodik yg disebabkan oleh terjadinya pelepasan muatan listrik secara berlebihan & tidak teratur oleh sel-sel otak dgn tiba-tiba, sehingga penerimaan & pengiriman impuls antara bagian otak & dari otak ke bagian lain tubuh terganggu (Mutiawati, 2008). Menurut Gibbs epilepsi ialah suatu “paroxysmal cerebral dysrhytmia”, dgn gejala-gejala klinis seperti di atas. Dasar disritmia ini ialah elektrobiokimiawi. (Maramis, 2005)
PREVALENSI
Laporan WHO pada tahun 2001 memperkirakan bahwa pada tahun 2000 diperkirakan penderita epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang & 80% tinggal di negara berkembang. Angka prevalensi epilepsi pada umumnya berkisar antara 5-10 per 1000 orang penduduk (Pinzon dkk, 2005). Kejadian epilepsi pada laki-laki sebesar 5,88 & perempuan sebesar 5,51 tiap 1000 penduduk. Prevalesi epilepsi di Indonesia berkisar antara 0,5-2% (Paryono dkk, 2003). Sekitar 1,1 juta hingga 1,3 juta penduduk Indonesia mengidap penyakit epilepsi (Depkes, 2006).
Ditaksir bahwa 0,1-0,4 % dari masyarakat umum menderita epilepsi & 77% dari semua epilepsi adalah idopatik. yg idiopatik bisanya mulai antara usia 10-20 tahun. Permulaan yg timbul sebelum & sesudah usia-usia ini sering merupakan epilepsi simtomatik & diperlukan pemeriksaan yg seksama (Maramis, 2005)
Prevalensi epilepsi berbeda diseluruh dunia dimana diperkirakan 2 sampai 5% & umumnya lebih rendah dinegara-negara maju. Pengaruh perbedaan ras tidak terlihat secara konsisten, & kelihatannya pengaruh lingkungan & perbedaan sosial berperan penting. Prevalensi pada anak dibawah usia 16 tahun dilaporkan lebih besar yaitu 7/1000 dibandingkan pada kelompok dewasa yg 3/1000 (Marpaung, 2003).
Dari pemeriksaan elektroensefalogram diketahui bahwa 5-10 % dari orangorang normal menunjukkan kelainan pada EEG seperti pada epilepsi. Diperkirakan bahwa orang-orang ini mempunyai faktor predisposisi untuk epilepsi (Maramis, 2005).
GEJALA
Epilepsi memiliki gejala yg menyerupai gangguan histeria yaitu hilangnya kesadaran & kontrol terhadap anggota tubuh. Epilepsi merupakan gangguan yg terjadi karena adanya ketidaknormalan fungsi seluruh atau sebagian otak yg dapat dilihat melalui pemeriksaan elektro ensefalografi (EEG) atau magnetic resonanceimaging (MRI). Sedangkan pada penderita histeria tidak ditemukan adanya gangguan fisik yg dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut & terdapat bukti adanya penyebab secara psikologis dalam bentuk hubungan kurun waktu yg jelas dgn masalahmasalah atau kejadian-kejadian yg menimbulkan stres atau hubungan interpersonal yg terganggu (PPDGJ-III, 2002, h. 81).
PROGNOSIS
Kondisi fisik & psikis dari penderita epilepsi membawa dampak negatif bagi perkembangan psikologisnya. Ada beberapa bentuk gangguan yg muncul dalam kondisi tersebut antara lain: rasa malu, rendah diri, hilangnya harga diri & kepercayaan diri. Bentuk gangguan tersebut dapat menyebabkan penderita mengalami depresi yg berkepanjangan apabila tidak segera diatasi. Depresi yg dialami oleh penderita dapatmempengaruhi kemampuan untuk menerima diri sendiri. Penderita yg tidak dapat menerima diri sendiri akan merasa dirinya tidak berarti, tidak berguna, sehingga akan semakin merasa terasing & terkucil dari lingkungannya (Monty dkk, 2003).
Penerimaan diri adalah sejauhmana seseorang dapat menyadari & mengakui karakteristik pribadi & menggunakannya dalam menjalani kelangsungan hidupnya. Sikap penerimaan diri ditunjukkan oleh pengakuan seseorang terhadap kelebihankelebihan sekaligus menerima kelemahan-kelemahannya tanpa menyalahkan orang lain & mempunyai keinginan yg terus menerus untuk mengembangkan diri (Helmi dkk, 1998). Penerimaan diri ini dibutuhkan agar penderita epilepsi tidak hanya mengakui kelemahan & terpaku pada keterbatasan yg dimiliki, tetapi juga mampu mempergunakan berbagai potensi yg masih dimiliki agar dapat meningkatkan rasa berharga & kepercayaan diri sehingga dapat menjalani kehidupannya secara normal.
KOMORBID
Epilepsi seringkali disertai oleh penyakit yg menjadi komorbiditasnya. Beberapa penyakit yg sering menjadi komorbiditas epilepsi adalah nyeri kepala, depresi, & ansietas. Keluhankeluhan tersebut menyebabkan gangguan dalam aktivitas harian penderita & tidak jarang memperberat epilepsinya. Nyeri kepala & epilepsi merupakan keluhan yg cukup sering ditemukan pada penderita yg berobat jalan.
Meskipun penjelasannya masih belum memuaskan, adanya kemungkinan hubungan antara nyeri kepala & epilepsi sudah cukup lama diperdebatkan. Berbagai data yg ada menyimpulkan bahwa nyeri kepala & epilepsi merupakan komorbiditas yg cukup kuat. & juga telah dikemukakan adanya hubungan kuat antara migren dgn aura & epilepsi. Penelitian yg dilakukan Yankovsky & kawan-kawan (2005) pada pasien epilepsi fokal intraktabel menunjukkan bahwa nyeri kepala preiktal terjadi ipsilateral terhadap fokus epilepsi. Sebagian besar gambaran nyeri kepalanya adalah migren.
Dari suatu studi prospektif, 34% dari 341 penderita epilepsi mengalami nyeri kepala dgn intensitas nyeri 6,1 dari skor tertinggi 10. Durasi nyeri kepala sekitar 12,8 ± 15,7 jam. Nyeri kepala pre iktal hanya didapatkan pada 3% penderita, 27% penderita mengalami nyeri kepala peri iktal, & 70% yg mengalami nyeri kepala post iktal. Dari penelitian tersebut juga didapatkan 55,7% nyeri kepala menyerupai migren & 36,5% menyerupai nyeri kepala tipe tegang.
Adanya riwayat migren pada penderita ternyata menjadi faktor risiko signifikan untuk terjadinya nyeri kepala selama kejang. Studi lain mengenai hubungan nyeri kepala dgn epilepsi lobus temporal menemukan bahwa nyeri kepala peri iktal terjadi ipsilateral dgn onset serangan kejang pada 90% kasus, & biasanya didukung oleh kriteria diagnostik migren.
PATOFISIOLOGI
Otak terdiri dari jutaan neuron penghubung yg saling berhubungan.Pada umumnya hubungan antar neuron terjalin dgn impuls listrik & dgn bantuan zat kimia yg secara umum disebut neurotransmitter. Hasil akhir dari hubungan antar neuron ini tergantung pada fungsi dasar neuron tersebut. Dalam keadaan normal lalu lintas impuls antar neuron berlangsung dgn cepat, terusmerus & lancar. Namun demikian bila saraf bereaksi secara abnormal, akan terjadi keadaan dimana mekanisme otak yg mengatur proses komunikasi antara saraf & otak terganggu.(Mutiawati, 2008)
Zat yg diketahui mempengaruhi mekanisme pengaturan ini adalah glutamat (mendorong kearah aktifitas berlebihan) & kelompok GABA (=gammaaminobutyric acid, bersifat menghambat). (Mutiawati, 2008)
Sumber: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/05/19/epilepsi-557529.html
Berbagai macam Kemasan produk Herbal epilepsi bisa anda dapatkan di link berikut :
1. EPILOSS (Herbal Epilepsi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar